Rabu, 29 Oktober 2008

SYAL ORANGE


Syal ORANGE-ku…

Jeritan Hati Seorang Warga

Pernah ada satu kisah yang pasti tak pernah terlupa bagi mereka yang mengaku sebagai “warga geologi”. Sebuah peristiwa yang sangat mengharubiru. Sedih-senang, senyum-tangis, seolah berbaur menjadi satu, sehingga sulit membedakan apakah air mata yang mengalir saat itu adalah air mata penderitaan ataukah air mata kebahagiaan.

Ya…masa itu adalah suatu masa disaat seuntai kain yang sacral berwarna orange terkalungkan indah dilehermu. Pada saat itu juga engkau menjadi warga geologi yang sesungguhnya.

Namun mengapa moment yang begitu sacral masih saja mampu meninggalkan setitik air mata kesedihan? Mengapa tak semua air mata yang berderai deras pada saat itu adalah air mata kebahagiaan? Mengapa moment indah itu masih saja meninggalkan rasa sakit hati sang junior kepada seniornya? Bukankah kita telah disatukan oleh semangat orange yang diperkokoh dengan semangat merah hitam? Apakah ini bukti bahwa semangat orange saat ini hanya sebuah formaltas yang telah kehilangan esensi dasarnya??? Tidak….semoga itu tidak terjadi.!!!

Berbagai pertanyaan meletup-letup dari dalam sanubari sebagian warga yang masih ingin melihat geologi lebih baik. Dan salah satunya adalah Aku. Aku sebagai seorang warga geologi yang ingin menyelamatkan geologi, menuju geologi lebih baik, sering berpikir dan berujung pada sebuah keprihatinan ketika melihat kondisi internal geologi terkhusus pada bidang pengkaderan. Selama menjejakkan kaki di tanah geologi nan orange, tampaknya belum ada sebuah kreativitas pola pengkaderan baru yang betul-betul mampu merubah pola pikir para kader geologi. Prosesi pengkaderan masih menganut gaya lama.

Niat luhur dari para aktivis himpunan untuk membentuk kader geologi yang humanis dan militan adalah sebuah tujuan cemerlang yang harus direalisasikan. Namun sungguh disayangkan selama perjalanan prosesi pengkaderan tak jarang timbul budaya-budaya yang tak wajar dilakukan oleh seorang yang mengaku sebagai intelektual muda bergelar mahasiswa.

Pola-pola kekerasan masih mewarnai prosesi pengkaderan yang begitu sacral. Kita belum berani untuk melaukan terobosan baru, untuk menghilangkan segala bentuk kekerasan (apapun alasannya) dari gaya pengkaderan kita. Doktrin-doktrin tempo dulu yang kini telah menjadi kultur, tampaknya sulit untuk dihilangkan. Susah memang, tapi bukan mustahil mewujudkan pola pengkaderan yang lebih baik.

Idealnya sebuah pengkaderan mahasiswa, yang ingin kita ubah adalah pola pikir obyek yang dikader. Perubahan pola pikir hanya bisa terjadi dengan membenturkan pemikiran baru yang secara diametral berbeda dengan pemikiran obyek yang ingin dikader. Jadi jelas untuk merobohkan sebuah pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, bukan dengan fisik.

Jadi tak ada salahnya, mulai dari sekarang kita harus kreatif dalam berpikir dan berani dalam bertindak. Karena yakin saja dibalik keberanian kita untuk mengambil langkah baru yang berbeda dengan langkah “orang lain” yang masih menganut sistem lama, akan menyebabkan kita termarjinalkan, dan akan banyak selentingan-selentingan serta mosi tidak percaya terhadap pola pengkaderan kita yang murni tanpa kekerasan.

Pertanyaannya sekarang…beranikah kita mengambil langkah fantastic tersebut dan menghadapi segala resiko yang ada???

Jawabannya ada pada anda…almamater ORANGE

Tidak ada komentar: