Senin, 15 Desember 2008

ISLAM MENGGUGAT SOSIALISME-KOMUNISME

DIMUAT DI KORAN KAMPUS IDENTITAS EDISI AWAL NOVEMBER 2008

Semenjak runtuhnya Uni Soviet, ideologi sosialisme hanya menjadi riak-riak kecil. Seiring berjalannya waktu, riak-riak kecil tersebut terakumulasi dan berusaha untuk mengulangi romantisme sejarah masa lalu. Hal ini adalah wajar, bahkan tidak salah jika disebut sebagai suatu keniscayaan. Karena memang hakekat dari suatu ideologi jika telah mengkristal dalam sanubari individu ataupun komunitas masyarakat, maka mereka pasti akan bergerak menyebarkannya akibat aura panas ideologi yang terus membakar para pengembannya. Bayang-bayang sosialisme semakin lama semakin tampak dengan menjamurnya berbagai “organisasi mantel” yang berhaluan sosialisme. Baik mereka yang menempuh jalur politik legal maupun yang bergerak pada tataran gress root.

Terlepas dari para pengembannya, sosialisme adalah pemikiran mendasar yang menjadikan doktrin dialektika materialisme sebagai landasan berpijak. Sehingga mereka menganggap alam semesta, kehidupan, dan manusia adalah materi. Munculnya materi adalah akibat adanya dialektika dalam materi tersebut. Oleh karena itu lahirlah konsep pemikiran yang begitu diagung-agungkan bertajuk “dialektika materialisme” yang berasaskan hukum thesa-antithesa-sintesa. Selain itu salah satu keunikan dari ideologi ini adalah konsep ketuhanan yang mereka adopsi. Karena berpijak pada pemahaman materialisme, maka mereka menganggap bahwa materilah yang mengeksiskan Tuhan yang dianggap sebagai sesuatu yang imajiner dan bukan sesuatu yang mutlak adanya.

Sehingga wajar jika seorang tokoh sosialis bernama Karl Mark manyatakan, manusia mewujudkan Tuhan, bukan Tuhan yang mewujudkan manusia”. Konsep ini diaminkan oleh Trostsky yang menganggap agama adalah candu bagi masyarakat.

Jika menggunakan perspektif Islam sebagai ideologi yang secara diametral sangat bertentangan dengan sosialisme, pemahaman Karl Mark adalah pemahaman yang salah. Tuhan adalah realitas mutlak bukan sekedar ide yang imajiner. Pemahaman yang dianut oleh Karl Mark inilah yang membuat dia dan para pengikutnya terjerumus pada persepsi yang salah terhadap agama. Kesalahan mereka ini berawal dari tidak mampunya membedakan antara eksistensi Tuhan dan ide ketuhanan. Eksistensi Tuhan adalah realistas mutlak, sementara ide ketuhanan bersumber dari proses berpikir manusia.

Perjungan sosialisme mencoba memasuki seluruh sendi kehidupan untuk meyakinkan masyarakat tentang kebenaran teori yang dicetuskannya. Dengan rekayasa yang begitu sistematis mereka mampu menggunakan jalur sains sebagai sarana meyakinkan masyarakat.

Misalnya untuk menafikkan peran Tuhan dalam penciptaan manusia dan membuktikan bahwa proses penciptaan manusia mengikuti doktrin dialektika materialisme, maka para pengemban sosialis tulen mencoba mengeluarkan teori penciptaan ala mereka. Sepintas teori mereka memang sangat ilmiah, namun melalui nalar kritis maka kecacatan teorinya akan terlihat jelas dan membuktikan intelektualistas mereka adalah intelektual yang sangat minimalis.

Dalam membahas teori penciptaan mereka selalu meletakkan kenyataan empirik untuk mewakili adanya hukum thesa-antithesa-sintesa. Mereka menganggap sperma sebagai thesa dan ovum sebagai antithesa. Jika kedua materi ini tidak melakukan dialektika maka tidak akan mungkin mucul materi baru. Namun ketika terjadi proses dialektika maka interaksi antara sperma dan ovum akan menghasilkan zygot, dimana zygot ini memiliki wujud yang berbeda dari materi penyusunnya. Hal ini adalah bukti adanya proses pelenyapan yang membarengi dialektika materialisme yaitu hilangnya sifat dasar sperma dan ovum dan membentuk materi dengan wujud yang sama sekali baru (zygot).

Sebagaimana pembentukan air. Dalam perspektif sosialisme air terbentuk mengikuti hukum thesa-antithesa-sintesa. Hidrogen (thesa) dan oksigen (antithesa) yang mengalami proses dialektika.

Seolah teori yang diusung oleh pengemban ideologi sosialisme adalah teori yang sudah sangat ilmiah dan mampu memecahkan misteri penciptaan dengan basis teori dialektika materialisme yang mereka miliki. Dan terlebih lagi berusaha untuk membuktikan tidak adanya capmpur tangan Tuhan.

Teori sosialisme ini adalah teori yang batil dalam pandangan Islam. Memang benar, dalam beberapa kasus interaksi antara materi (yang oleh pengemban sosialis dianggap sebagai dialektika) akan menghasilkan materi baru. Tetapi interaksi saja tidak serta merta dapat menghasilkan materi baru.

Dalam proses penciptaan manusia misalnya. Pemikiran kaum sosialis adalam pemikiran yang sangat minimalis. Sementara untuk menguak proses penciptaan manusia haruslah menggunakan pemikiran yang cemerlang. Memang benar awal wujud manusia adalah zygot yang terbentuk dari adanya proses dialektika antara sperma dan ovum. Namun apakah penganut sosialis pernah bertanya dan menganlisis mengapa dari jutaan sperma hanya satu yang mampu mebuahi ovum? Mengapa sperma bisa langsung mengetahui keberadaan ovum? Atau mengapa setelah terjadi dialektika antara sperma dan ovum, jumlah kromosom manusia adalah 46? Siapa yang mengatur pertemuan dan jumlah kromosom tersebut?

Atau dalam pembentukan air, ternyata bukan sekedar proses dialektika yang terjadi tetapi adanya aturan perbandingan yang begitu ajaib. Air hanya akan terbentuk jika adanya ikatan antara dua atom hydrogen dan satu otom oksigen. Pertanyaannya adalah siapa yang mengatur perbandingan yang begitu sempurna tersebut? Apakah semuanya terjadi secara kebetulan dan tiba-tiba? Jawaban yang sangat tidak memuaskan akal jika hanya dijawab melalui proses kebetulan dan tiba-tiba. Aturaan tersebut pasti berasal dari luar materi dan aturan tersebut bukanlah materi.

Islam tampil sebagai ideologi paripurna, yang memberikan jawaban yang memuaskan akal, sesuai dengan fitrah manusia dan mampu menenangkan hati. Konsep ketuhanan dan pencipataan dalam Islam adalah konsep yang sangat rasional dan mampu dibuktikan secara ilmiah. Islam menganggap Tuhan (Allah) adalah mutlak adanya. Kompleksitas dan kesempurnaan proses penciptaan manusia, alam semesta dan kehidupan adalah murni pengaturan dari Allah. Suatu proses yang begitu kompleks tersebut jelas tidak akan pernah mucul dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya.

Kesempurnaan ideologi Islam, tidak hanya sebatas pada kemampuannya menjelaskan konsep penciptaan manusia, namun konsep-konsep kehidupan lain terutama yang menyangkut interaksi sesama manusia. Ternyata Islam mampu menampilkan konsep agung yang dapat dibuktikan kebenarannya secara fakta historis dan anlisis ilmiah.

Dengan demikian doktrin sosialime-komunisme adalah pemahaman yang sangat berbahaya. Karena pemahaman ini mampu menyeret manusia pada jurang atheis dan secara tidak sadar menjadikan materi sebagai sesembahannya. Padahal eksistensi Allah sebagai Tuhan seru sekalian alam adalah sebuah keniscayaan terhadap eksistensi manusia, kehidupan, dan alam semesta.

Oleh karena itu ajaran sosialisme-komunisme sangat bertolak belakang dengan Islam. Kalaupun ada pencetus ide baru yang mencoba mengkompromikan ide sosialisme dengan agama, dan menggagas lahirnya teori sosialisme-regius, maka ini adalah usaha untuk mengkompromikan ideologi. Dan yakinlah usaha untuk mencampuradukkan dua ideologi yang secara diametral sangat berbeda, adalah usaha yang sia-sia dan justru akan menghasilkan problem baru.

Hati-hati "Ulama Su" Bergentayangan

DIMUAT DI HARIAN TRIBUN TIMUR EDISI JUMAT 12 DESEMBER 2008

Lebih dari 1400 tahun Islam telah eksis di muka bumi dan berhasil menunjukkan kegemilangan peradabannya. Keberhasilan ini tak bisa lepas dari peran ulama-ulama brilliant yang begitu gigih pantang menyerah menyebarkan Islam hingga pelosok terpencil dunia sekalipun.

Memang dalam perspektif Islam, ulama dianggap sebagai entitas yang sangat vital peranannya. Sejarah Islam masa lalu telah mencatat prestasi gemilang ulama yang mampu memberikan konstribusi langsung terhadap kemajuan peradaban Islam. Oleh Imam Ghazali, ulama tempo dulu digambarkan sebagai komunitas yang selalu kritis dan mengawal dan mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataan mereka membekas dihati umat.

Pada awal kemunculannya dimuka bumi sebagai rahmatan lil alamin, Islam lewat tangan Rasulullah saw., telah mampu mencetak ulama besar, sekaliber Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Sahabat Nabi lainnya. Sejarah terus bergulir, ribuan ulama besar terus bermunculan. Mereka tidak hanya ahli dalam khazanah ilmu Islam, namun mereka juga menjadi garda terdepan dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, walaupun harus berhadapan langsung dengan penguasa dhzalim pada masanya, mereka tak takut untuk dijebloskan ke penjara, bahkan ada diantaranya yang harus menerima siksaan fisik.

Sejarah pun telah mencatat peran aktif ulama untuk mewujudkan transformasi sosial ke arah kehidupan yang lebih baik. Sejak dulu ulama memiliki peranan dalam berbagai peristiwa penting. Bahkan nyaris tak ada satupun perubahan besar dalam sejarah peradaban Islam yang tidak melibatkan peran ulama. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh dari jazirah Arab, terwujudnya kemerdekaan Indonesia adalah bukti jasa besar ulama masa lalu.

Pada tahun 1404 berangkatlah sembilan ulama dari berbagai tempat di wilayah daulah khilafah atas titah dari Sultan Muhammad Jalabi yang diutus ke tanah Jawa untuk berdakwah. Oleh masyarakat Indonesia mereka lebih dikenal dengan julukan “wali songo”.

Ketika terjadi penjajahan di Nusantara para ulama pun ikut berjuang mengusir penjajah. Sebut saja ulama tersohor asal Minangkabau, Tuanku Imam Bonjol yang telah memimpin Perang Paderi. Di Jawa misalnya, Pangeran Diponegoro mampu tampil sebagai ulama handal sekaligus panglima jihad yang telah mampu mengobarkan semagat perlawan kaum muslimin untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Atau di Makassar, ada Sultan Hasanuddin yang juga tak kalah gigihnya melawan eksistensi penjajah saat itu.

Namun sayang sejarah emas ulama tempo dulu, belum mampu terlihat saat ini. Jangankan untuk melahirkan ulama tangguh, standarisasi seorang individu muslim untuk mumpuni digelari ulama saat ini pun tidak jelas. Jika kita bertanya berapa doktor atau profesor yang dimiliki oleh bangsa ini? Mungkin secara kuantitatif pertenyaan tersebut tidak sulit dijawab, karena definisi koktor dan profesor telah jelas. Namun bagaimana jika pertanyaannya adalah berapa jumlah ulama yang ada di Indonesia? Tentunya tidak mudah untuk dijawab. Apakah sebanyak lulusan pesantren? Tentu saja tidak. Karena banyak jebolan pesantren yang tidak nyaman disebut sebagai ulama.

Terlepas dari ketidakjelasan definisi dan kriteria ulama, saat ini sadar atau tidak peran ulama telah dimandulkan. Wilayah kerja ulama hanya dibatasi pada serambi-serambi mesjid dan tidak mempunyai otoritas untuk mengatur wilayah sosial umat. Silakan ulama mencerdaskan umat dalam perkara thaharah (bersuci), shalat dan berzakat namun ulama tidak perlu menyentuh wilayah politik, ekonomi, atau pemerintahan. Akhirnya peran ulama termarjinalkan. Jika diundang ke forum-forum yang membicarakan wacana sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan, ulama hadir hanya sebagai penggembira dan pembaca doa di akhir acara. Mereka tidak lagi dipandang sebagai komunitas yang mampu tampil sebagai “problem solver” yang mengusung Islam sebagai satu-satunya solusi. Padahal konsep politik, ekonomi dan pemerintahan dalan perspektif Islam adalah konsep terbaik yang telah terbukti secara historis dan ilmiah.

Jika dulu ulama begitu garang dan kritis menjadi pengoreksi dan pengawal pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, namun saat ini peran vital tersebut seolah tidak dijalankan lagi. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan Islam, suara protes ulama begitu langka terdengar. Sirnanya ketangguhan ulama semakin terlihat ketika kewibawaan ulama semakin luntur dimata pemerintah dan masyarakat. Lihat saja bagaimana ketika ulama mengeluarkan fatwa terkait keharaman paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Fatwa tersebut hanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan paham yang telah dinyatakan sesat tersebut semakin mewabah.

Kemandulan peran ulama semakin diperparah dengan menjamurnya ulama yang menghancurkan umat. Ulama inilah yang sering dijuluki sebagai ulama su’. Secara bahasa ulama su’ diartikan sebagai ulama yang jahat. Umat Islam harus berhati-hati dan bersikap kritis karena sepak terjang ulama su’ sangat sulit dibedakan dengan ulama tulen yang ikhlas memperjuangkan Islam.

Ulama su’ menyebarkan pemikiran kufurnya dan mebalutnya dengan dalil Quran dan hadits Rasulullah. Jadi konsep yang sebenarnya adalah pemikiran kufur seolah menjadi pemikiran Islam. Selain itu ulama su adalah sosok ulama yang sengaja diopinikan oleh beberapa oknum media yang tidak pro dengan Islam. Maka jangan kaget jika ketenaran ulama su melebihi ulama sejati. Sebut saja seorang ulama su’ yang bergelar doktor tanpa malu-malu menghalalkan perkawinan beda agama, bahkan yang lebih mencengangkan Ia menghalalkan pernikahan sesame jenis (homoseksual dan lesbian).

Agenda lain yang sering dikampayekan oleh ulama su’ adalah sekularisasi Islam. Mereka mencoba meracuni pemikiran kaum muslimin dengan melakukan pemisahan antara kehidupan dunia dan konsep Islam. Mereka menganggap Islam dipakai hanya pada tataran pengaturan hubungan manusia dengan Allah swt. Namun untuk mengatur ranah sosial aturan yang digunakan adalah hukum positif yang berlaku walaupun bertentangan dengan syariat Islam. Maka muncullah konsep-konsep nyeleneh seperti “Islam tidak punya konsep tentang pemerintahan” atau “negara tidak wajib menerapkan syariat Islam”. Untuk memperkuat argumennya digunakanlah Ayat Al-Quran yang telah ditafsirkan dan diputarbalikkan sekehendak hatinya.

Ulama su’ juga sering dimanfaatkan untuk menyuarakan kepentingan dan kebijakan asing. Saat isu perang melawan terorisme yang merupakan agenda asing, mereka pun dipakai. Melalui ceramah dan khutbah ulama su’ umat Islam coba dipecah belah dengan cara mengelompokkannya menjadi Islam moderat-radikal, liberal-fundamentalis, tekstual-kontekstual. Jika umat Islam sudah terkotak-kotakkan, maka akan sangat mudah dipecahbelah. Jihad yang menjadi salah satu elemen syariat Islam dipersempit maknanya hanya pada pengertian bahasa. Sementara makana syar’I yaitu berperang dijalan Allah dianggap sebagai sebuah kejahatan.

Ketika muncul fenomena pernikahan dini dan poligami, ulama su’ tampil bagaikan pahlawan yang tegas menolak dengan alasan melindungi kehormatan kaum muslimah. Namun dimanakah pembelaan ulama su’ ketika kaum muslimah dilarang menggunakan jilbab?

Ironisnya sebagian kaum muslimin seolah terhipnotis oleh pemikiran kufur karena yang menfatwakan adalah orang yang terlanjur digelari “ulama”. Sementara ulama sejati yang ikhlas memperjuankan Islam dianggap sebagai ulama yang harus diwaspadai karena mengajarkan paham Islam radikal.

Kaum muslimin harus berhati-hati karena populasi ulama su’ semakin meningkat dan sementara bergentayangan menyebarkan paham sesatnya. Mempelajari Islam secara kaffah dan murni mulai dari konsep tauhid, ekonomi, bahkan sampai konsep negara dan pemerintahan adalah solusi praktis yang dapat dilakukan.

Umat Islam harus semakin kritis mengenali ulamanya sendiri. Dari segi penampilan fisik ulama su’ dan ulama sejati nyaris sama dan tidak dapat dibedakan, namun mereka hanya mampu dibedakan dari pemikiran yang diembannya. Boleh jadi tanpa disadari ulama su’ saat ini sering berdiri dimimbar masjid kita, waspadalah!